Rabu, 17 Maret 2010

Pemaksaan Baru Bernama Agroekoteknologi

Surat Keputusan Dirjen Dikti No 163/2007 tentang Penataan Nama dan Kode Program Studi yang berisi penggabungan Program Studi (PS) Budidaya/Agronomi, Hortikultura, dan Arsitektur Lansekap ke dalam satu wadah bernama Agroekoteknologi, bisa jadi didasari pemikiran turunnya minat mahasiswa terhadap program tersebut.

Padahal, jika dicermati kepentingan didirikannya suatu PS tidak semata-mata didasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Bisa dibayangkan, apabila sebuah PS yang didirikan harus mengacu pada jumlah peminat calon mahasiswa, bagaimana nasib sebuah disiplin ilmu yang sangat dibutuhkan bagi pengembangan dunia pertanian di tanah air harus ditututp hanya karena peminatnya sedikit?

Kondisi itu membuat para penyelenggara PS berusaha meningkatkan peminat dengan berbagai cara, termasuk cara-cara yang tidak sehat. Pemerintah semestinya berperilaku adil pada seluruh disiplin ilmu untuk berkembang. Tapi yang kita rasakan sekarang, pemerintah cenderung mengembangkan PS tertentu hanya karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Jika mau jujur mengakui, fenomena terus menurunnya minat mahasiswa untuk belajar pertanian tidak terlepas dari buruknya potret pertanian di negeri ini. Dunia pertanian kita dari waktu ke waktu tidak mengalami perkembangan yang signifikan sehingga meruntuhkan motivasi generasi muda untuk belajar pertanian. Dunia pertanian kita bahkan cenderung ditinggalkan oleh rakyat.

Ini berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah terhadap sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Pada dekade sebelumnya, terjadi peningkatan yang luar biasa pada sektor pertanian. Pemerintah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir atau berjalan dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya.

Tidak Menguntungkan

Sebetulnya, hal ini tidak terlepas dari paradigma pembangunan yang lebih menekankan pada industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatian pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis, di mana secara sadar atau tidak, proteksi ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani (Yayat Dinar N, 2007).


Sebetulnya, fenomena mengenai kemunduran dunia pertanian kita adalah anggapan sektor tersebut tidak lagi menjadi primadona dan tidak menjanjikan. Pendapatan dari sektor pertanian tidak memadai, di mana harga jual rendah sementara biaya produksi tinggi. Sebetulnya, hal ini terjadi karena kelemahan kebijakan pemerintah, mulai dari penyediaan pupuk, pembelian gabah, penerapan harga pembelian pemerintah (HPP), distribusi beras, sampai pengelolaan agrobisnis.

Setiap lini, dari hulu sampai hilir, tidak berjalan sistematis sehingga banyak ketimpangan dalam mengimplemetasikan kebijakan tersebut. Lingkaran inilah yang membuat sektor pertanian tidak menguntungkan karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam proses produksinya.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dunia pertanian. Pertama, terbatasnya pemasaran produk pertanian. Hanya produk-produk tertentu dari pertanian bisa diserap pasar. Hal ini disebabkan petani tidak memahami konsep pemasaran sehingga kesulitan memasarkan produk-produk pertanian yang akhirnya membuat harga tidak stabil atau tidak menguntungkan.

Faktor kedua, sempitnya lahan pertanian karena banyak disulap menjadi lahan industri dan perumahan. Hal ini disebabkan banyak petani menjual lahannya karena menganggap pertanian sudah tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Petani tergiur keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penjualan tanah tersebut.

Perbankan Belum Percaya

Faktor ketiga, kurangnya penelitian yang dilakukan terhadap pertanian maupun produk pertanian, baik oleh pemerintah maupun institusi-institusi terkait, seperti lembaga-lembaga pendidikan tinggi, sehingga pertanian berjalan monoton dan produk pertanian tidak bervariasi. Ini merupakan problematika mendasar dari pola kebijakan pemerintah, di mana tidak ada kebijakan yang merangsang berkembangnya institusi atau lembaga-lembaga penelitian pertanian.

Faktor keempat, kurangnya dukungan finansial bagi dunia pertanian. Selama ini, bank, baik milik pemerintah maupun swasta, kurang mengucurkan kredit bagi usaha-usaha pertanian sehingga sulit untuk berkembang karena kesulitan finansial. Selama pihak perbankan masih belum sepenuhnya percaya terhadap dunia pertanian, dengan sendirinya dunia pertanian kita tidak berkembang.

Kondisi-kondisi itulah yang membuat sektor pertanian tidak berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan kebijakan pemerintah yang lebih kondusif dan konklusif untuk mengembangkan serta meningkatkan kualitas sektor pertanian. Pemerintah perlu melakukan integrasi sektor pertanian dalam kebijakan makro agar tidak berat sebelah mendukung sektor industri. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana (termasuk untuk penelitian). Subsidi tetap diperlukan, namun bukan subsidi sektoral, melainkan subsidi kelompok miskin yang kebanyakan berada di pedesaan.

Melihat konstelasi pendidikan pertanian Indonesia yang terus dibongkar pasang—sehingga sekarang kalau melihat daftar di Dikti, disiplin ilmu pertanian untuk program sarjana hanya dua: Agro teknologi dan Agrobisnis—tak berlebihan untuk dikatakan bahwa orientasi neokapitalisme menang. Sisi manusia pertanian yang sudah mulai diabaikan akan membuat orang-orang malu dan minder dengan istilah pertanian.

Proses dehumanisasi dalam pertanian ini pun tampak terasa dengan fakta dileburnya program studi yang berbau sosial ekonomi pertanian/perikanan/peternakan/kehutanan. Sementara itu, fakultas-fakultas ekonomi di berbagai perguruan tinggi di Tanah Air pun tidak menfokuskan pada aspek sosial ekonomi di bidang pertanian/perikanan/peternakan/kehutanan ini. Padahal, kita sadar bahwa Indonesia adalah negara agraris dan negara maritim.

Deden Hendrawan, pemerhati masalah bangsa, alumnus University of Illinois USA – SINAR HARAPAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar